Rabu, 28 November 2012

Belajar Dari Orang Lain

Suksess..., siapa sich yang gak kepengin sukses? bisa dipastikan semua orang kepengin sukses, entah dalam bidang apapun. Sebelum kita pelajari bagaimana bisa sukses, terlebih dahulu kita mengerti makna sukses yang sebenarnya? memang banyak sekali pandangan atau pendapat mengenai sukses itu sendiri tergantung dari sudut mana kita menilainya, kalo menurutku sich....; " Sukses itu bukan tujuan akhir, sukses adalah sebuah perjalanan, bagaimana setiap detik, menit, jam, hari  dan seterusnya kita bisa trus memperbaiki diri.."
Kita juga perlu belajar dari orang lain, berikut kami paparkan kiat sukses orang Jepang,


10 Kiat Sukses Orang Jepang | Tips
1. Kerja Keras

Jepang seperti diketahui orang seluruh dunia adalah bangsa yang rajin. Sesusah-susahnya hidup orang rajin tidak akan pernah kelaparan. Rata-rata jam kerja pegawai di Jepang adalah 2450 jam/tahun, sangat tinggi dibandingkan dengan Amerika (1957 jam/tahun), Inggris (1911 jam/tahun), Jerman (1870 jam/tahun), dan Perancis (1680 jam/tahun). Seorang pegawai di Jepang bisa menghasilkan sebuah mobil dalam 9 hari, sedangkan pegawai di negara lain memerlukan 47 hari untuk membuat mobil yang bernilai sama. Seorang pekerja Jepang boleh dikatakan bisa melakukan pekerjaan yang biasanya dikerjakan oleh 5-6 orang. Pulang cepat adalah sesuatu yang boleh dikatakan “agak memalukan” di Jepang, dan menandakan bahwa pegawai tersebut termasuk “yang tidak dibutuhkan” oleh perusahaan.
2. Malu
Malu adalah budaya leluhur dan turun temurun bangsa Jepang. Harakiri (bunuh diri dengan menusukkan pisau ke perut) menjadi ritual sejak era samurai, yaitu ketika mereka kalah dan pertempuran. Masuk ke dunia modern, wacananya sedikit berubah ke fenomena “mengundurkan diri” bagi para pejabat (mentri, politikus, dsb) yang terlibat masalah korupsi atau merasa gagal menjalankan tugasnya. Efek negatifnya mungkin adalah anak-anak SD, SMP yang kadang bunuh diri, karena nilainya jelek atau tidak naik kelas. Karena malu jugalah, orang Jepang lebih senang memilih jalan memutar daripada mengganggu pengemudi di belakangnya dengan memotong jalur di tengah jalan. Mereka malu terhadap lingkungannya apabila mereka melanggar peraturan ataupun norma yang sudah menjadi kesepakatan umum.
3. Hidup Hemat

Orang Jepang memiliki semangat hidup hemat dalam keseharian. Sikap anti konsumerisme berlebihan ini nampak dalam berbagai bidang kehidupan. Di masa awal mulai kehidupan di Jepang, saya sempat terheran-heran dengan banyaknya orang Jepang ramai belanja di supermarket pada sekitar jam 19:30. Selidik punya selidik, ternyata sudah menjadi hal yang biasa bahwa supermarket di Jepang akan memotong harga sampai separuhnya pada waktu sekitar setengah jam sebelum tutup. Seperti diketahui bahwa Supermarket di Jepang rata-rata tutup pada pukul 20:00.
4. Loyalitas

Loyalitas membuat sistem karir di sebuah perusahaan berjalan dan tertata dengan rapi.
Sedikit berbeda dengan sistem di Amerika dan Eropa, sangat jarang orang Jepang yang berpindah-pindah pekerjaan. Mereka biasanya bertahan di satu atau dua perusahaan sampai pensiun. Ini mungkin implikasi dari Industri di Jepang yang kebanyakan hanya mau menerima fresh graduate, yang kemudian mereka latih dan didik sendiri sesuai dengan bidang garapan (core business) perusahaan.
5. Inovasi

Jepang bukan bangsa penemu, tapi orang Jepang mempunyai kelebihan dalam meracik temuan orang dan kemudian memasarkannya dalam bentuk yang diminati oleh masyarakat.
Menarik membaca kisah Akio Morita yang mengembangkan Sony Walkman yang melegenda itu. Cassete Tape tidak ditemukan oleh Sony, patennya dimiliki oleh perusahaan Phillip Electronics. Tapi yang berhasil mengembangkan dan membundling model portable sebagai sebuah produk yang booming selama puluhan tahun adalah Akio Morita, founder dan CEO Sony pada masa itu. Sampai tahun 1995, tercatat lebih dari 300 model walkman lahir dan jumlah total produksi mencapai 150 juta produk. Teknik perakitan kendaraan roda empat juga bukan diciptakan orang Jepang, patennya dimiliki orang Amerika. Tapi ternyata Jepang dengan inovasinya bisa mengembangkan industri perakitan kendaraan yang lebih cepat dan murah.
6. Pantang Menyerah

Sejarah membuktikan bahwa Jepang termasuk bangsa yang tahan banting dan
pantang menyerah. Puluhan tahun dibawah kekaisaran Tokugawa yang menutup semua akses ke luar negeri, Jepang sangat tertinggal dalam teknologi. Ketika restorasi Meiji (meiji ishin) datang, bangsa Jepang cepat beradaptasi dan menjadi fast-learner. Kemiskinan sumber daya alam juga tidak membuat Jepang menyerah. Tidak hanya menjadi pengimpor minyak bumi, batubara, biji besi dan kayu, bahkan 85% sumber energi Jepang berasal dari negara lain termasuk Indonesia . Kabarnya kalau Indonesia menghentikan pasokan minyak bumi, maka 30% wilayah Jepang akan gelap gulita Rentetan bencana terjadi di tahun 1945, dimulai dari bom atom di Hiroshima dan Nagasaki , disusul dengan kalah perangnya Jepang, dan ditambahi dengan adanya gempa bumi besar di Tokyo . Ternyata Jepang tidak habis. Dalam beberapa tahun berikutnya Jepang sudah berhasil membangun industri otomotif dan bahkan juga kereta cepat (shinkansen) . Mungkin cukup menakjubkan bagaimana Matsushita Konosuke yang usahanya hancur dan hampir tersingkir dari bisnis peralatan elektronik di tahun 1945 masih mampu merangkak, mulai dari nol untuk membangun industri sehingga menjadi kerajaan bisnis di era kekinian. Akio Morita juga awalnya menjadi tertawaan orang ketika menawarkan produk Cassete Tapenya yang mungil ke berbagai negara lain. Tapi akhirnya melegenda dengan Sony Walkman-nya. Yang juga cukup unik bahwa ilmu dan teori dimana orang harus belajar dari kegagalan ini mulai diformulasikan di Jepang dengan nama shippaigaku (ilmu kegagalan).
7. Budaya Baca

Jangan kaget kalau anda datang ke Jepang dan masuk ke densha (kereta listrik), sebagian besar penumpangnya baik anak-anak maupun dewasa sedang membaca buku atau koran. Tidak peduli duduk atau berdiri, banyak yang memanfaatkan waktu di densha untuk membaca. Banyak penerbit yang mulai membuat man-ga (komik bergambar) untuk materi-materi kurikulum sekolah baik SD, SMP maupun SMA. Pelajaran Sejarah, Biologi, Bahasa, dsb disajikan dengan menarik yang membuat minat baca masyarakat semakin tinggi. Saya pernah membahas masalah komik pendidikan di blog ini. Budaya baca orang Jepang juga didukung oleh
kecepatan dalam proses penerjemahan buku-buku asing (bahasa inggris, perancis, jerman, dsb). Konon kabarnya legenda penerjemahan buku-buku asing sudah dimulai pada tahun 1684, seiring dibangunnya institute penerjemahan dan terus berkembang sampai jaman modern. Biasanya terjemahan buku bahasa Jepang sudah tersedia dalam beberapa minggu sejak buku asingnya diterbitkan.
8. Kerjasama Kelompok

Budaya di Jepang tidak terlalu mengakomodasi kerja-kerja yang terlalu bersifat individualistik. Termasuk klaim hasil pekerjaan, biasanya ditujukan untuk tim atau kelompok tersebut. Fenomena ini tidak hanya di dunia kerja, kondisi kampus dengan lab penelitiannya juga seperti itu, mengerjakan tugas mata kuliah biasanya juga dalam bentuk kelompok. Kerja dalam kelompok mungkin salah satu kekuatan terbesar orang Jepang. Ada anekdot bahwa “1 orang professor Jepang akan kalah dengan satu orang professor Amerika, hanya 10 orang professor Amerika tidak akan bisa mengalahkan 10 orang professor Jepang yang berkelompok” . Musyawarah mufakat atau sering disebut dengan “rin-gi” adalah ritual dalam kelompok. Keputusan strategis harus dibicarakan dalam “rin-gi”.
9. Mandiri

Sejak usia dini anak-anak dilatih untuk mandiri. Irsyad, anak saya yang paling gede sempat merasakan masuk TK (Yochien) di Jepang. Dia harus membawa 3 tas besar berisi pakaian ganti, bento (bungkusan makan siang), sepatu ganti, buku-buku, handuk dan sebotol besar minuman yang menggantung di lehernya. Di Yochien setiap anak dilatih untuk membawa perlengkapan sendiri, dan bertanggung jawab terhadap barang miliknya sendiri. Lepas SMA dan masuk bangku kuliah hampir sebagian besar tidak meminta biaya kepada orang tua. Teman-temen seangkatan saya dulu di Saitama University mengandalkan kerja part time untuk biaya sekolah dan kehidupan sehari-hari. Kalaupun kehabisan uang, mereka “meminjam” uang ke orang tua yang itu nanti mereka kembalikan di bulan berikutnya.


10. Jaga Tradisi

Perkembangan teknologi dan ekonomi, tidak membuat bangsa Jepang kehilangan tradisi dan budayanya. Budaya perempuan yang sudah menikah untuk tidak bekerja masih ada dan hidup sampai saat ini.

Budaya minta maaf masih menjadi reflek orang Jepang. Kalau suatu hari anda naik sepeda di Jepang dan menabrak pejalan kaki , maka jangan kaget kalau yang kita tabrak malah yang minta maaf duluan.

Sampai saat ini orang Jepang relatif menghindari berkata “tidak” untuk apabila mendapat tawaran dari orang lain. Jadi kita harus hati-hati dalam pergaulan dengan orang Jepang karena “hai” belum tentu “ya” bagi orang Jepang Pertanian merupakan tradisi leluhur dan aset penting di Jepang. Persaingan keras karena masuknya beras Thailand dan Amerika yang murah, tidak menyurutkan langkah pemerintah Jepang untuk melindungi para petaninya. Kabarnya tanah yang dijadikan lahan pertanian mendapatkan pengurangan pajak yang signifikan, termasuk beberapa insentif lain untuk orang-orang yang masih bertahan di dunia pertanian. Pertanian Jepang merupakan salah satu yang tertinggi di dunia.

Rahasia Sukses Orang Jepang

Ramadhan yang lalu (2011) membawa nikmat tersendiri bagi saya. Betapa tidak? Pertama, saya diundang beberapa kali oleh stasiun televisi terkait 7 Keajaiban Rezeki yang kebetulan menjadi buku terlaris dan seminar terbesar di Indonesia sepanjang 2010-2011. Kedua, 7 Keajaiban  Rezeki diseminarkan 3 kali di Hongkong dan 2 kali di Jepang, dengan dukungan penuh dari Dompet Dhuafa. Dan tentu saja, selama di Jepang saya menyempatkan diri untuk jalan-jalan di sejumlah kota. Katakanlah di Tokyo, Chiba, Ibaraki, Tsukuba, Hamamatsu, Yokohama, dan Shizuoka (Gunung Fuji). Nah, selama berada di sana setidaknya ada tiga hikmah pembelajaran yang saya petik. Dan tiga hikmah inilah yang akan saya share kepada Anda. Boleh?
Pertama, keramahan. Jamak diketahui, Tokyo merupakan kota dengan penduduk paling padat sedunia. Lihat saja pusat keramaian di Shibuya, yang kebetulan menjadi lokasi shooting film Hachiko, Too Fast Too Furious (Tokyo Drift), dan Resident Evil terbaru. Di sana, ribuan orang menyeberang jalan setiap menitnya. Benar-benar ribuan. Semuanya bergegas. Namun demikian, mereka tetap menjaga keramahan. Contoh kecil saja, di kereta-kereta mereka masih memberikan prioritas duduk kepada lansia.
Selain itu, mereka juga menghargai pejalan kaki, orang asing, kebersihan, antrian, dan anti-klakson. Walau cenderung individualis khas perkotaan, namun mereka tidak pernah melupakan senyuman dan bungkukan badan ketika berinteraksi. Beberapa kali saya masuk toko dan tidak membeli apapun. Tahu apa yang terjadi? Ternyata si pelayan toko tetap mengantar saya sampai di pintu, membungkukkan badan, dan mengucapkan “Terima kasih banyak,” sambil tersenyum lebar. Ramah kan? Itu tidak jadi membeli lho. Bayangkan, kalau jadi membeli.
Kedua, kejujuran. Bukan cuma paling padat, Tokyo juga kota dengan biaya hidup paling mahal sedunia. Sekadar contoh, untuk menggunakan jasa taksi dari airport Narita ke pusat kota Tokyo, Anda harus merogoh uang hampir Rp 3 juta rupiah! Parkir di pusat kota Tokyo? Hm, jangan ditanya! Per jam bisa habis ratusan ribu rupiah! Saking mahalnya properti di sana, KPR-nya bisa 40 tahun! Kendati dibebani biaya hidup begitu tinggi, anehnya di sana hampir-hampir tidak ada pencurian, penjambretan, dan perampokan.
Bahkan kalau barang Anda tertinggal di suatu tempat, tidak perlu panik. Kembalilah ke tempat tersebut dan ambillah barang Anda. Kemungkinan besar, barang Anda tetap utuh. Lihatlah, betapa jujurnya mereka. Padahal banyak di antara mereka yang tidak beragama. Di KTP mereka saja tidak tercantum agama, karena pemerintah menganggap agama tidak terlalu penting dalam kehidupan bernegara. Kuil terkenal di Meiji-Jingu, Harajuku, hanya menjadi simbol spiritual dan tidak diikat oleh aturan agama tertentu.
Ketiga, harga diri. Jepang adalah negara ulet, jauh dari budaya malas-malasan. Tambahan lagi, mereka punya harga diri, jauh dari budaya meminta-minta. Perlu dicatat, tidak semua orang makmur di sana. Itu sudah fitrah semua negara. Iya kan? Akan tetapi, jangankan meminta-minta, menerima tips saja dianggap memalukan bagi mereka. Baik satpam, janitor, pelayan, atau siapa saja, tidak terbiasa menerima tips. Dalam konteks lain, kerap diberitakan, di sana pejabat-pejabat yang ketahuan korupsi atau sejenisnya, pasti mundur bahkan bunuh diri. Saking malunya! Di Indonesia? Boro-boro mundur. Disuruh mundur saja, masih bersikeras. Boro-boro bunuh diri. Salah-salah, orang lain yang dibunuhnya. Ketahuilah, rezeki berpihak pada mereka yang menjaga harga diri. Seperti yang disinggung di bagian awal buku, inilah mental kaya.
Kembali soal berpuasa di Jepang. Walau saya berpuasa 2 sampai 3 jam lebih lama dibanding di Indonesia, walau saya sama sekali tidak merasakan suasana bulan puasa, walau saya susah sekali mencari tempat sholat dan makanan yang halal, namun semua kendala itu saya anggap ringan. Beneran, ringan. Apalagi setelah saya memetik tiga hikmah di atas. Puasa hendaknya luar biasa. Karena menjadikan kita insan yang lebih jujur dan lebih menjaga harga diri. Itu yang semestinya. Bukankah puasa itu ibadah rahasia dan tidak bisa riya-riyaan? Bukankah puasa itu melatih pengendalian diri bahkan terhadap sesuatu yang halal? Bukankah di bulan puasa digalakkan untuk mengeluarkan sedekah, zakat harta, dan zakat fitrah? Memberi, bukan berharap diberi.
Terakhir, ingatlah. Indonesia merdeka ketika bulan puasa. Fatahillah merebut kembali Sunda Kelapa ketika bulan puasa. Nabi Muhammad memenangkan perang Badar ketika bulan puasa. Bahkan Nabi Muhammad menaklukkan Mekkah ketika bulan puasa. Luar biasa kan? Lha, sudah tahu begitu, apa pantas kita mengisi bulan puasa hanya dengan malas-malasan dan tidur-tiduran? Sungguh, tidak pantas. Tolong dicatat, dalam bulan puasa, kalau diam saja adalah ibadah, apalagi berkata-kata yang baik? Kalau tidur saja ibadah, apalagi bekerja dan bekinerja? Sekali lagi, puasa hendaknya luar biasa! Right?
KOMPAS.com - Acara Jakarta Ventures Night kembali digelar dan tahun ini merupakan tahun ketiga pelaksanaannya. Tahun 2012 ini, East Venture sebagai penyelenggara acara ini menambahkan sesi "pitching" dari startup yang telah mengikuti East Venture Alpha (program inkubasi) selama 100 hari.
Selain pitching, ada pula presentasi dari entrepreneur sukses Jepang, Shinichi Takamiya yang memaparkan rahasia suksesnya berbisnis di dunia online.

Shinichi Takamiya adalah Globis Capital Partner yang telah sukses membangun startup di Jepang. Menurutnya, kunci untuk bisa sukses membangun startup adalah memikirkan sesuatu yang besar.
"Anda harus Thik Big! Pikirkan sesuatu yang besar yang bisa Anda hasilkan dari startup yang Anda bangun," ujar Takamiya dalam presentasinya di Jakarta Ventures Night, di Ballroom A, Hotel Grand Hyatt, Jakarta, Kamis (12/1/2012).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar